11 Desember 2009

First Letter

Baik, saudara-saudara, selamat datang kembali di pertandingan semifinal Piala Osaka U-16, antara kesebelasan Fukushima melawan kesebelasan Midoriyama! Skor sementara saat ini adalah 1-1, dan waktu pertandingan yang tersisa tinggal lima menit lagi. Sanggupkah tim kesebelasan Fukushima yang bertahan dengan gigihnya sejak peluit pertandingan berbunyi, melawan dominansi kesebelasan Midoriyama?

Mari kita saksikan bersama,saudara-saudara!

AHH… Tiba-tiba saja dari sudut kiri lapangan gelandang Fukushima bernomor punggung 10, Hiroshi Nagata berhasil merebut bola dari pemain Midoriyama! Lihat! Lihatlah betapa hebatnya ia mengecoh pemain lain satu demi satu! Kini ia tinggal berhadapan dengan kiper! Berpikir sejenak, ia pun melepaskan tendangan melambung andalannya…

DAAAN GOOOOOLLLLL!!!!!
Tapi, sayang sekali gol itu –
–gol bunuh diri…

Suara komentator yang semula mengelu-elukan namanya pun segera tenggelam oleh gelombang protes dari seluruh penjuru stadion. Protes. Bukannya pujian yang selayaknya diberikan untuk sang bintang lapangan, Hiroshi Nagata. Dasar Naga bodoh! Bukankah tadi kau yang mencetak gol bunuh diri itu dan membuat Fukushima kalah dari Midoriyama? Yeah, dan tiba-tiba saja pertandingan yang seharusnya menjadi batu loncatan dalam kariernya sebagai pemain bola, berubah menjadi sebuah mimpi buruk, hanya karena sebuah gol yang salah sasaran ke gawang sendiri. Ba-ka. Kesalahan dirinya-kah? Bukan. Ini kesalahan pelatih, yang memaksakan diri untuk tetap memasangnya sebagai penyerang. Padahal sudah tahu kebiasaan jelek Naga yang suka lupa arah ketika kelewat lelah.

JDUG!
Kali ini bukan hanya protes yang dilemparkan oleh supporter Fukushima yang kesal padanya. Tapi juga botol-botol berisi air mineral.
Tarik napas dalam-dalam. Sabar…
KLANG! Dan kaleng minuman soda.
Sabar, Naga... Orang sabar disayang Tuhan…
PLETAK! Dan bahkan sepatu, eh?
S-A-B-A-R…
PPONG!
SEKARANG APA LAGI, EH?! GAS AIR MATA?

Kabut asap tiba-tiba menghalangi pandangannya. Naga sudah bersiap mengambil ancang-ancang untuk menghajar supporter yang –dikiranya– melepaskan gas air mata tepat di depan mukanya, dan menggerus habis seluruh kesabarannya. Tapi hei, ini bukan gas air mata. Matanya tidak perih sedikitpun. Lalu siapa yang ada di depannya ini? Kabut asap itu perlahan menghilang dan sosok dibaliknya pun mulai terlihat. Naga memerlukan waktu seratus enam puluh tujuh detik untuk memastikan siapa sosok di balik kabut asap itu. Dan ketika dirinya telah menyadari siapa gerangan sosok itu, Naga hanya bisa duduk diam terpaku dengan mulut menganga lebar.

Sosok itu. Berwujud. Hidetoshi Nakata.
Hidetoshi. Nakata.
Hidetoshi Nakata yang itu.

AAAAAAAAAAAARGH.
Jika Naga seorang anak perempuan centil mungkin ia akan menerjang Hide, berteriak histeris, dan tak lupa memeluknya erat-erat. Tapi tidak. Biar bagaimanapun Naga itu laki-laki. Berusaha sebisanya untuk tampak cool, ia hanya menjawab salam Nakata dan membungkuk sopan, sambil sesekali menunjukkan kemampuannya memainkan bola. Dan tak lupa memutar otaknya untuk mencari cara bagaimana meminta tanda tangan dari Nakata, tapi tak terkesan murahan. In a cool way, you know?

"...blablabla diterima di Akademi sihir kami, Ryokushoku O Obita",
E-eh? Untuk minta tanda tangan harus masuk Ryoku-oku?
"Di dalam buntalan hijau ini terdapat bundelan kertas berisi blablabla",
Wuooh, ada hadiah untukku juga, eh?

Naga terlalu sibuk mengutak-utik isi bundelan hijau itu sampai-sampai ia tidak menyimak apapun yang disampaikan oleh Nakata. Hingga kemudian--

--PPONG!.

Nakata pun menghilang.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda